Rabu, 07 Desember 2011

FANFICTION- WISH part 3


Here…

My first fan fiction part 3. Hehe. Maaf kalau-kalau ceritanya makin menggeje. Maka dari itu, writer terbuka pada masukan dan kritik kok ^^v Oh ya, karena ternyata tanpa sadar sewaktu bikin FF ini writer menulis kesana kemari dan alhasil ini FF jadi berlembar-lembar, maka ane putuskan ini kayaknya bakal jadi semi-novel. Jeongmal Mianhe kalo panjang dan membosankan, Gomen. Tapi FF part ini masih melibatkan Gina dan Zii yang termasuk dalam tokoh kok ;) jadi karena sepertinya writer sudah kebanyaken ngomong langsung sajaaaa~

Arigatou telah membaca, Enjoy :D



Starring

Sarah Phalosa as Park Nami Yamada Ryosuke as Ryosuke

Ginani Hening as Aiko Hyuga Tegoshi Yuuya as Yuuya

Ziaulika U Zaen as Yuka Sanako Osamu Mukai as Mayama

Choi Jonghun as Jonghun Nishikido Ryo as Nishi

----------------------------------------------------------------------------------------------

WisH

Part 3 – I want to stop. But I can’t. You’ve been my everything ( Nami )

This place, that place.

There was your shadow. I remember. But, you?

Yuka’s POV

Libur musim panas telah tiba. Berbagai kegiatan khas Natsu Matsuri dimulai. Di ruas-ruas jalan tertempel poster Hanabi Taikai dimana-mana. Untuk itulah pagi ini aku pergi kerumah Jonghun. Semoga dia belum pergi kemana-mana liburan ini.

Setelah kupencet bel beberapa kali barulah Nami muncul membukakan pintu.Ia mengenakan dress berwarna peach. Spertinya dia mau pergi ke suatu tempat. Mungkinkah dengan kakaknya?

“Ohayo Yuka-chan. Mau ketemu hyung yaa?”

“Ohayo. Iya, Nami.” Aku masuk mengikutinya menuju dalam. “Apakah Jonghun sedang sibuk?”

“Ya begitulah dia sibuk dengan mimpinya sekarang. Haha.” Nami mempersilahkanku duduk. “Hyung masih tidur. Nanti aku bangunkan. Kau tunggu saja aku akan …”

“Nami, ada telepon untukmu.” Ada suara seseorang dari balik punggung Nami. Seorang gadis seumuran. Tampaknya dia familiar. Siapa ya?

“Oh oke. Dari siapa?”

“Dari Mayama.” Nami berbalik dan berjalan menjauh. “Sebentar Yuka-chan.”

Gadis itu berdiri sejenak, kami saling mengamati. “Ah, kemarin kita bertemu di sekolah ya kan?” gadis itu membuka pembicaraan.

Sekolah? Hm sebentar. “Ah iya. Pantas saja sepertinya aku familiar denganmu.” Aku ingat sekarang. “Kau anak baru itu ya? Siapa namamu? Ai.. ai..”

“Aiko Hyuga.”

“Oh iya Aiko Hyuga.” Aku tersenyum. “Jadi kau saudara barunya Nami ya? Tak menyangka ya?”

“Iya. Aku juga tidak menyangka.”

Ternyata memang dunia sempit. Saudara baru Nami adalah si anak baru di kelasku.

“Aiko-chan, hyung belum bangun ya?” Rupanya Nami sudah kembali dari ruang tengah.

“Belum, Nami. Memangnya kenapa?”

“Yah, dia dicari Yuka nih. Semalaman bermain FIFA 2011, bisa-bisa dia tidur sampai nanti siang. Mengikuti gayaku saja.”

Aiko tertawa mendengar keluhan Nami. “Ada perlu apa memangnya Yuka?” Nami bertanya padaku.

“Ahh, ini Nami-chan.” Aku membuka tas dan mengeluarkan pamphlet hanabi taikai (*festival kembang api ) lalu meratakannya di atas meja agar Nami dan Aiko bisa melihatnya dengan jelas. “Sepertinya menarik, aku ingin mengajak Jonghun.”

“Wah, iya. Aku datang tahun lalu.” Nami mengambil pamfletnya. “Kau pasti suka Aiko. Kembang api festival musim panas daerah sini indah sekali loh. Kami boleh ikut Yuka?”

“Tentu saja boleh.”

“Asyiiik.”

“Aku juga boleh?” Aiko bertanya agak ragu-ragu.

“Tentu.” Aku mengalihkan pandanganku ke pintu. Sepertinya ada orang baru masuk tadi. “Eh, Nami ada tamu.”

“Yo.” Orang itu berjalan santai kearah kami.

Ternyata Mayama. “Tadi aku mengetuk pintu tapi tak ada yang menjawab. Ternyata ada Yuka juga. Jadi aku masuk saja. Gomen.”

“Daijobu.” Nami bangkit dari sofa dan merapikan baju yang dipakainya. “Aku sudah rapi loh. Jadi kan?”

Mayama mengangguk. Lalu pandangannya tertuju pada pamphlet di tangan Nami.

“Ajak Mayama saja sekalian, Nami.” Ujarku saat Mayama membaca pamphlet itu. “Kan jadi lebih ramai. Iya kan Aiko.” Aiko bergumam mengiyakan.

“Oke. Ikut ya Mayama?”

Mayama mengangguk sekali lagi lalu menatap Nami dari atas kebawah. “Ayo berangkat.”

“Kalian mau pergi?” tanyaku.

“Hai. Kami mau hunting foto.” Jawab Nami seraya menunjuk tas hitam yang terkalung di bahu Mayama. “Oh ya kau mencari Jonghun ya?” Nami membalikkan badannya.

“Aku saja yang membangunkannya tidak apa-apa Nami chan.” Aiko beranjak berdiri.

“Ah baiklah. Bilang pada Jonghun di tunggu pacar tercintanya ya.” Nami tersenyum nakal padaku.

Aku hanya tersenyum dan menggelengkan kepala. Nami hobi meledekku.

“Eh?? Pp pa.. pacar?” sepertinya Aiko lebih dari sekedar terkejut mengetahui fakta itu. “Yuka pacar Jonghun? Hontouni?”

“Iyaa, Aiko. Doushite?”

“Ah, bukan apa-apa.” Aiko terdiam sejenak lalu kembali normal dan segera berjalan menuju kamar Jonghun. “Akan aku bangunkan.”

“Kalau begitu aku berangkat dulu ya, Yuka.” Nami menggandeng tangan Mayama. “Ayo.”

Dari belakang kuamati mereka berdua berjalan menuju pintu. Mayama terlihat sedikit gugup dan beberapa kali mencuri pandang melihat Nami yang menggandengnya seraya sibuk memencet tombol-tombol di hapenya. Jangan-jangan mereka? Ah tidak. Nami masih sakit hati gara-gara orang itu. Tapi? Oh, mungkinkah Mayama?

Jonghun’s POV

“…Jonghun…”

Cahaya dari jendela kamarku masuk menerobos menyilaukan. Menggangguku yang sedang tidur.

“…Jonghun. Kau ditunggu oleh pacarmu.”

Aku berguling ke kanan menghindari cahaya yang menyilaukan.

“ … Jonghun, Yuka menunggumu di bawah.”

Aku membuka mataku perlahan. Ternyata memang sudah terang. Kulirik jam di samping kasurku. Pukul 10.30 am. Rupanya sudah agak siang, pantas saja ada yang membangunkanku. Sesosok orang duduk dan menarik-narik lenganku. “Nami?”

“Bukan, ini Aiko. Nami sudah pergi tadi. Yuka datang dan sekarang menunggumu di bawah, Jonghun.” Aiko bangkit dari tempat tidurku dan mengambil selimut yang terjatuh ke lantai.

“Aiko rupanya. Ohayo~.” Kuputuskan untuk bangun saja. Yuka sudah repot-repot kesini dan tidak mungkin aku tinggal tidur. Kuambil kacamataku yang tergeletak di meja.

“Kalau Jonghun ingin sarapan, Oneechan dan aku telah menyiapkannnya tadi pagi, masih ada di meja. Tapi Onee chan sudah pergi lagi. Dia ada seminar jadi harus berangkat pagi untuk persiapan.”

“Oke. Arigatou.” Aku bangkit dan membantu Aiko merapihkan tempat tidurku. “Tadi katamu Nami sudah pergi? Memangnya dia pergi kemana?”

“Wakarimasen, Jonghun-san. Dia baru saja berangkat setelah Yuka datang.” Aiko selesai membereskan tempat tidur. Ia memang adik yang baik.

“ Dia tidak bilang padamu saat pamit?”

“(tidak). Begitu Mayama datang ia langsung pergi.”

“Mayama? Kau bilang Mayama datang? Berarti Nami pergi bersama Mayama?” aku sedikit kaget mendengar fakta itu.

“Ne, mereka bilang mau hunting foto. Tapi aku tidak tahu kemana.” Aiko menjawab sambil lalu. Aku baru menyadarinya, Aiko terlihat sedikit shock dari tadi.

“Baiklah. Ternyata Mayama sudah berani melangkah sendiri.” Aku menggelengkan kepala dan mengamati Aiko lagi. Dia masih terlihat shock. “Kenapa Aiko, ada yang salah?”

“Ah tidak. Daijobu.” Aiko tersenyum dan menggelengkan kepala. Dia turun kebawah dan berjalan menuju kamarnya. Aku mengikuti dia sampai ruang tenagh, terlihat Yuka sedang duduk disana.

“Ohayooo~” sapaku pada Yuka

“Ohayo. Kau baru bangun?” Yuka menggeser duduknya agar aku duduk disebelahnya

“Ne. Semalaman bermain jadi butuh tidur ekstra.” Aku mengacak rambutku. “Kau sudah dari tadi?”

“Tidak kok. Aku baru saja datang waktu Nami pergi dengan Mayama.”

“Oh baguslah kalau begitu.” Aku terdiam sejenak memikirkan fakta bahwa Nami pergi dengan Mayama. Tanpa disadari Yuka memperhatikanku. “Doushite?” tanyaku.

“Hmmm, apakah kau berpikiran sama denganku?” Yuka tersenyum. “Apakah kau pikir mereka, maksudku Nami dan Mayama..”

“Tidak.” Jawabku cepat. Aku mengerti apa yang dimaksud oleh Yuka. “Kurasa bukan Begitu Yuka-chan. Mereka tidak ada hubungan apa-apa.”

“Kenapa kau terdengar tidak setuju?” Yuka tertawa.

“Apa?Aku?” Yuka benar juga. Kenapa aku jadi seperti tidak setuju. “Aku setuju kok sebenarnya. Demo..” aku jua tidak mengerti, kenapa tadi aku berpikiran tidak setuju jika mereka memang punya hubungan seperti itu.

“Kau tadi terdengar ingin melarang adikmu berpacaran dengan sahabatmu loh, Jonghun.” Yuka masih tetap memperhatikanku.

“Tidak tidak, bukan begitu. Ah sudah lupakan saja. Kalau Mayama sih memang dari awal suka pada Nami, tapi Nami sepertinya masih perlu waktu.” Aku berpikir lagi, benarkah jawabanku? “Lupakan sajalah Yuka-chan. Jadiii, kau kesini ada apa?”


------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Aiko’s POV

Jadi Yuka itu pacar Jonghun. Kenapa aku sebodoh ini ya. Lelaki macam Jonghun pasti sudah punya pacar. Lagipula dia kan bukan tipeku. Lalu kenapa aku jadi labil begini? Aku kan juga bukan tipe orang yang mudah dibuat labil karena masalah sepele seperti ini.

Sejak awal seharusnya aku tidak berharap apa-apa saat datang ke Jepang. Seharusnya aku tidak berputar-putar pada kenangan sepeleku dengan Jonghun. Ah, kenapa aku malah jadi begini. Bukankah biasanya hal seperti ini tidak menggangguku?

Tiba-tiba aku jadi teringat Ryosuke. Dia yang selalu sinis jika aku mulai memikirkan Jonghun. Entah kenapa sekarang aku jadi merasa bodoh jika ingat kata-kata Ryosuke. Ryosuke selalu mengatakan bahwa Jonghun adalah lelaki berbahaya. Entah apa maksudnya.

Haaah, musim panas yang terasa sangat berbeda. Musim panas tahun lalu kuhabiskan bersama Ryosuke, Jong Ki Oppa dan Ji Hyo Onnie membuat barbeque. Omma memang sudah mulai sakit-sakitan, tetapi ia masih bisa membantu kami.

Ah, aku rindu dengan mereka. Kuambil ponselku, kurasa sebaiknya aku menelepon Ryosuke.Entah mengapa belakangan ini sulit untuk menghubunginya. Dan ternyata terulang lagi, setelah beberapa kali dicoba, nomor telepon Ryosuke tidak bisa dihubungi. Kenapa yaa? Tidak biasanya ia mematikan ponselnya. Mungkin lebih baik kutelepon Jong Ki Oppa saja.

“Yeoboseyo?” suara Jong Ki Oppa langsung terdengar.

“Oppa, ini aku.” Entah kenapa rasanya senang sekali mendengar suara Jong Ki Oppa yang familiar setelah beberapa hari di tempat yang asing. “Apa kabar Oppa?”

“ah, Aiko. (baik-baik saja. Kau?). Bagaimana dengan Jepang? Menyenangkan?”

“Baik juga oppa. Begitulah…” Aku mendengar ribut-ribut dari arah sana. “Jepang masih terasa asing untukku ternyata. Itu siapa oppa? Ji Hyo onnie kah?”

“Ne, Jia sedang ribut dengan Wooyoung, mereka berebut perhatian Yoogeun. Haha. Oh ya maaf aku tidak meneleponmu kemarin-kemarin. Mianhe.”

“Gwaenchana oppa. Ah, salam untuk mereka yaa. Aku kangen sekali dengan kalian semua.” Entah kenapa suaraku tiba-tiba tercekat.

“Oke. Kau baik-baik di Jepang ya.”

“Ne oppa.” Tiba-tiba aku teringat tujuanku menelepon. “Oh iya, bagaimana kabar Ryosuke?”

“Ahh, Ryosuke?Jinja~. Aku tidak mendengar kabarnya belakangan. Mollayo~ . Aku tidak bertemu dengan Ryosuke sejak minggu lalu. Rumahnya sepi Aiko. Keluarganya memang beberapa waktu yang lalu berniat liburan ke pulau Jaeju tapi Ryosuke sendiri bilang ia idak ingin ikut. Tetapi Jia dan Wooyoung juga belum bertemu dengannya.” Suara Jong Ki oppa terdengar khawatir. “Mungkin sebaiknya kau hubungi dia lewat telepon Aiko.”

“Sudah oppa. Tetapi ponselnya tidak aktif. Mungkinkah dia memang jadi ikut ke Jaeju?”

“Annyeo. Aku bertemu dengannya di taman setelah keberangkatan mereka sekeluarga. Tetapi setelah itu aku tidak melihatnya sama sekali sampai sekarang.”

“Ahh, kemana yaa Ryosuke? Aku jadi khawatir. Mungkin nanti aku akan mencoba menghubunginya lagi. Tolong beritahu aku kalau ada sesuatu ya oppa.”

“Okee. Baik-baiklah disana aiko!”

“Iya. Sudah dulu yaa oppa. Gomawo!”

Telepon terputus. Tetapi bukannya tenang aku malah tambah gelisah. Ryosuke menghilang. Pergi kemana ya dia? Rosuke memang punya hobi travelling tetapi biasanya ia pergi bersama Jong Ki oppa. Atau mungkin dia hanya ingin waktu untuk sendiri, seperti aku sekarang.

Kulempar ponselku dan pergi keluar kamar. Terlihat Jonghun dan Yuka sedang memperhatikan sesuatu di meja. Melihat mereka berdua seperti itu rasanya membuatku menyesal keluar kamar. Ah, kenapa aku jadi begini?

Mayama’s POV

“Bagaimana kalau kita ke sana saja?” Nami menunjuk sebuah kedai okonomiyaki di seberang taman.

“Baiklah. Aku menurut padamu saja deh.”

Untuk kesekian kalinya Nami menggandeng lenganku. Hal yang membuatku menjadi tak bisa berkonsentrasi pada yang aku lakukan.

Kami menyeberang dan sampai di dalam kedai yang sejuk. Di luar sangat panas, begitu sampai Nami langsung meminta air putih dan meminumnya sampai habis. Ia lalu memesan dua porsi dan kembali ke meja tempat aku duduk.

“Kau mau aku duduk disebelahmu atau di depanmu?” Nami bertanya.

“Eh? Terserah kau sajalah.” Jawabanku lebih terdengar ketus daripada masa bodoh karena gugup.

“Baiklah.” Nami menaruh tasnya dan duduk di depanku. Dia mengambil tusuk rambut dari dalam tasnya dan menggelung rambutnya.

“Aduh panas sekali sih.” Dia mengipas-kipaskan tangannya. “Nande?” Rupanya Nami sadar aku memperhatikannya dari tadi.

“Ah, tidak.” Aku meyadari tindakan bodohku. “Iya memang panas.”

“Nandeyo~? Dari kita berangkat kau diam sekali. Kau bersikap aneh.” Nami balik memperhatikanku. Membuatku salah tingkah. “Atau jangan-jangan..”

“Jangan-jangan apa Nami-chan?” aku membetulkan letak kacamataku untuk menutupi rasa gugup yang tiba-tiba menghantam.

“Jangan-jangan kau tidak suka pergi denganku ya?”

“Nani? Cigau Nami-chan.Aku senang kok.” Untunglah Nami tidak menyadari apa-apa, aku tersenyum lega. “Aku hanya sedang bertanya-tanya saja, kau ternyata bisa fotografi juga. Yuuya-kah yang mengajarimu?” kualihkan pembicaraan.

“Eh? Kau kenal Yuuya rupanya?” Nami merapikan rambutnya. “Aku hanya asal memotret kok. Skill ku masih kalah jauh jika dibandingkan dengan Yuuya apalagi dengan Mayama-kun. Eh ya, kau kenal Yuuya darimana?”

Seorang Ojisan mengantarkan pesanan kami. Aku mulai menge-set meja. Tanpa sadar aku tidak mendengarkan Nami bicara.

“Mayama-kun~, kau kenal darimana?” Nami mengulangi pertanyaanya.

“Ah iya. Aku mengenalnya saat ada pameran di universitas Tokyo. Kami bertemu saat makan siang. Kebetulan kemarin-kemarin saat aku ke sekolahmu menemani Jonghun, aku bertemu dengan dia. Kau dekat dengannya ya Nami? Dia pandai memotret juga-kah?”

“Hounto? Pantas saja, kalian satu dunia sih.Tetapi mungkin dia lebih suka dunia musik sepertinya. Berbeda dengan Kakaknya, Nanba-senpai memang berkecimpung dengan dunia fotografi.” Nami mulai membolak-balikan okonomiyakinya. “Kami sudah lama dekat memang. Yuuya orang baik, dia teman pertamaku saat baru pindah. Yuuya selalu menemaniku belajar bahasa Jepang dan sangat sabar menghadapi ocehanku. Haha”

Rupanya dia memang dekat dengan Yuuya. Mereka bersahabat sepertinya. Atau mungkin ada hubungan lain? Kemarin saja mereka pergi berdua. Ah semoga tidak. Tetapi Nami bilang memang Yuuya orang yang baik.

“Daijobu Mayama-kun?” Nami menyentuh tanganku yang sedari tadi mengaduk-aduk minuman. “Kau melamun barusan?”

“Eh tidak.” Aku meminum lemon tea ku. “Kau dekat sekali ya dengan Yuuya?”

“Aku?Doushite?” Nami mengambil irisan kecil okonomiyaki yang sudah mulai matang.

“Tidak apa-apa. Hanya ingin tanya saja.” Ujarku cepat-cepat.

“Bisa dibilang begitu. Tetapi kami tidak ada apa-apa kok. Yuuya menyukai orang lain.” Nami lantas tersenyum. “Orang baik Yuuya itu. Dia sering menjemputku untuk berangkat sekolah bersama dengannya.”

“Oh begitu rupannya.” Aku lega.

“Kau mau ini Mayama-kun?” Nami menyodorkan potongan kecil okonomiyaki di sumpitnya kepadaku. “Masih panas tapi.”

Dengan ragu-ragu aku mendekatkan mulutku dan menggigit okonomiyaki itu.

“Bagaimana?” Nami menatapku lekat-lekat.

“Daebak.” Aku menjawabnya dengan sambil tersenyum.

“Ah, Mayama-kun. Jangan mulai mengingatkanku dengan bahasa korea.” Nami terlihat jengkel. “Aku susah payah tidak menggunakannya terlalu sering di sini.”

Aku tertawa. Nami memang agak kesulitan dengan bahasa Jepang. Dia masih sering mengoceh dengan bahasa korea. Terkadang dia mengucapkan kosa-kata dengan bahasa korea. Jonghun selalu mengkritiknya karena lambat beradaptasi.

“Hountoni Mayama-kun!” Pelan, Nami memukul lenganku. “Atau aku akan mulai mengobrol dengan bahasa Inggris?”

“Nani kore?” aku berhenti tertawa. Nami tahu aku payah dalam bahasa Inggris. Beda dengan dia yang sering hidup berpindah-pindah saat kecil. Hidup di Negara dengan ibu bahasa, bahasa inggris bukan hal asing untuk Nami. Hal itulah yang membuatnya fasih berbahasa Inggris.

“Kalau begitu jangan mempengaruhi aku.”

“Wakatta. Aku berhenti deh.” Nami tersenyum puas. “Tapi kau sendiri masih memanggil Jonghun dengan sebutan Hyung.”

“Biarkan saja. Aku sulit memanggilnya dengan sebutan Onii-chan.”

“Kenapa bukan oppa? Panggilan hyung kan bukan dari adik perempuan seperti kau?”

“Soalnyaaaa, aku lebih suka pelafalan Hyung. Haha.”

“Nani?? Kau aneh sekali.”

Disebut aneh Nami hanya tertawa lalu melemparkansenyum terimakasih kepadaku.

“Arigatou~.”

Rasanya hari ini aku tidak bisa pulang ke rumah dengan tenang. Beruntung sekali Jonghun punya adik seperti Nami. Dia bahkan terlihat lebih istimewa saat tersenyum seperti itu.

Jonghun’s POV

Hari sudah nyaris malam. Tapi langit musim panas memang cerah. Awan kemerahan masih menggantung membuat pendar-pendar indah diatas kolam ikan kecil di belakang rumah. Dari sudut dapur aku bisa melihat dengan jelas sinar-sinar terakhir matahari berpantulan diatas bola-bola kaca milik Nami yang berserakan di halaman belakang.

Dari kejauhan terdengar suara gitar. Sepertinya masih denting tak beraturan. Aku berjalan keluar menuju halaman belakang. Aiko rupanya. Ia sedang duduk di atas rumput dan berusaha men-stem gitar yang ada di pangkuannya. Aku mengenali gitar itu. Itu gitarku yang lama tidak aku mainkan. Sepertinya Aiko sedang berusaha memainkannya.

“Kau sedang apa Aiko-chan?” aku berjalan mendekatinya.

“Tadi aku menemukan ini di pojok ruang baca. Mungkin milikmu?” Aiko menggeser duduknya dan memberi tempat padaku.“Aku sudah lama tidak bermain gitar. Sepertinya aku sudah tidak bisa.” Aiko tersenyum salah tingkah.

“Wah, ini gitar lamaku.” Aku mengambilnya dari tangan Aiko. “Biar kusetel. Agar kau lebih mudah mempelajarinya lagi. Kurasa bukan hal yang sulit untuk musisi sekaliber dirimu. Kau kan sudah lama di dunia music.”

“Annyeo~. Aku tidak seprofesional itu Jonghun-kun.”

“Haha yang benar saja. Kau bermain baik sekali waktu itu. Permainan piano-mu saat konser itu.” Aku menyerahkan kembali gitar yang sudah di setel. “Apa namanya ya?Aku lupa.Oh, aku ingat sekarang, The Maidens Prayers.”

“Ahh, kau masih ingat Jonghun-kun?” Aiko terlihat senang. “Aku kira konser itu sudah lama sekali.”

“Tentu. Kau memakai dress velvet hitam dari Omma-ku kan?”

Aiko tersenyum lagi. Kali ini dia mencoba gitar yang sudah aku setel. Beberapa kali mencoba bagian-bagian lagu yang ia ketahui tapi sempat salah. Dia mengulanginya lagi dan terus memperbaiki kesalahannya.

“Kau berbakat sekali Aiko-chan.” Aku memujinya. “Berbeda sekali dengan Nami. Dia pernah merengek memintaku mengajarinya gitar, tapi baru kuajari hal-hal dasar sudah menyerah dan menyuruhku memainkanya saja untuknnya.”

Aiko terlihat sedikit malu dipuji seperti itu. “Hounto?”

“Hountoniiiii. Dia payah sekali.” Aku menggelengkan kepala teringat tingkah Nami saat itu.

Permainan Aiko mulai benar. Dia dengan cepat memepelajari kembali lagu yang sepertinya dia kuasai di masa lalu sebelum ia terjun ke dunia piano.

“Falling Slowly ya?”

“Ne. Dari Glenn Hasard, OST - once.”

Aiko memainkan beberapa bagian lagu yang kurang tepat. “Ah, bukan begitu Aiko-chan.” Aku mengambil gitar itu dari Aiko. “Aku akan memainkannya dahulu. Aku juga suka lagi ini, aku masih hafal kok.”

“Baiklah. Aku jadi ingin melihatmu memainkannya.”

Nami’s POV

“…I don’t know You but I want you. All the more for that…”

Rumah ini sepi sekali. Kemanakah Jonghun ya? Dia bilang sudah pulang dari jalan-jalan bersama Yuka. Onee-chan juga. Dia tadi pagi bilang mungkin bisa makan malam di rumah. Begitu pula Aiko, tidak terlihat tanda-tandanya di dalam rumah.

Di ruang tengah hanya terlihat berbagai catalog yukata (*pakaian musim panas) yang sedang tren. Lantai atas tak ada siapapun. Kamar-kamar tertutup. Mobil One-chan tidak ada di dalam garasi. Sepi sekali.

Kulempar tasku ke atas sofa. Dari dalamnya kuambil ponsel dan dompet. Kupencet nomor onee-chan. Setelah menunggu beberapa saat onnie tak juga mengangkat panggilanku. Mungkin sedang ada pasien kritis? Menyebalkan sekali sepi seperti ini. Membuatku mengingat hal-hal yang tak ingin aku ingat.

“…Raise your hopeful voice you had a choice…”

Terkadang aku memang membutuhkan waktu menyepi untuk diriku sendiri. Tapi tidak seperti ini, rumah one-chan yang cukup luas terasa begitu lengang. Sepinya menusuk. Seperti ada lubang di dalam pikiranku yang menyedot atmosfer dan menarikku ke putaran-putaran kejadian yang susah payah aku lupakan.

“…You’ve made it now…”

Aku buru-buru bangkit dari sofa dan mulai berjalan memutari meja makan di dekat dapur. Paling tidak dengan bergerak membuatku sedikit lebih baik.

“…Falling slowly…”

Dari kejauhan terdengar dentingan gitar. Aku mengikuti sumber asal suara itu.

“…I can’t step back…”

Bunyi gelang di kakiku mengikuti saat aku berjalan pelan menuju dapur. Dari jendelanya terlihat dua sosok orang yang sedang duduk di atas rumput dekat pohon. Jonghun dan Aiko rupanya. Mereka di rumah.

Akhirnya, aku terlepas dari sensasi sendirian di rumah.

Aku tersenyum senang. Melangkah ringanaku berjalan ke arah pintu keluar menuju halaman belakang.

Samar, tetapi aku bisa mendengarnya cukup jelas dari sini. Jonghun sedang memainkan gitarnya. Lagu yang kukenal. Lagu yang dimainkan orang itu saat festival musim gugur tiga tahun yang lalu. Aku berhenti berjalan menyusuri jalan setapak menuju tempat mereka berdua. Rasanya lagu ini membuatku ingin melempar jonghun dengan dompetku.

Aku bersandar pada salah satu dari dua pohon yang terikat ayunan tidur di tengahnya. Pohon itu terletak di samping jalan setapak kecil yang sedang aku susuri. Mereka berdua tidak melihatku. Jonghun sedang berkonsentrasi memainkan gitarnya dan Aiko dengan seksama memperhatikannya seraya beberapa kali ikut menyanyikan lyric lagu itu bersama jonghun.

Aku lebih baik disini dulu. Lagu itu membuat aku sedikit sakit kepala.

Tunggu sampai lagunya berhenti.

“…I don’t know You but I want you. All the more for that…”
“…Falling slowly…”

Selesai. Tapi entah kenapa suara hati mengatakan untuk memperhatikan mereka dari tempat ini saja. Maka aku bersandar lagi ke pohon.

Aiko bertepuk tangan pelan. “Suaramu bagus juga Jonghun-kun.”

“Arigatou.” Jonghun meletakkan gitarnya. “Mulai sekarang bagaimana kalau kau memanggilku oppa saja Aiko chan?”

“Eh?Nande?”

“Aku ingin di panggil seperti itu.” Jonghun tersenyum. “Ah, tapi kalau kau tidak keberatan saja AIko-chan.”

“Wakatta.” Aiko balas tersenyum

“Oke. Tapi cukup kalau di rumah saja tak apa.”

“Ne oppa.”

“Haha, terdengar bagus.” Jonghun terlihat senang. “Lagi pula kau masih susah beradaptasi dengan bahasa Jepang kan? Gunakan bahasa korea sekali-kali tidak masalah.”

“Arasso.” Kini giliran Aiko tertawa. “Tapi aku harus membiasakan diri oppa. Jika tidak bahasa Jepangku tidak akan membaik.”

“Wah, kau memang berbeda sekali dengan Nami. Dulu saat dia pindah disini dia masih selalu menggunakan bahasa korea-nya. Sampai sekarangpun masih. Payah sekali, dia lama belajar dan tidak lancar juga.”

Aiko hanya menggelengkan kepalanya

“Dia itu selalu mengenang masa lalunya, dia sulit menerima keadaan dan dia….”

Apa-apaan ini? Dia melanggar janjinya.

-WISH part 3 end-

0 komentar:

Posting Komentar

 

Secarik Cerita dalam toples-toples Mimpi Copyright © 2009 Cookiez is Designed by Ipietoon for Free Blogger Template